Senin, 06 Juni 2011

Pengendalian Paikiran, Iman dan Nafsu


PIKIRAN, IMAN, DAN NAFSU:
Rasa kekecewaan dan kebahagiaan hidup bersumber dari jenis-jenis nafsu yang bersarang dalam diri pribadi masing-masing. Untuk memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu jeleknya.
Manusia sering diliputi keresahan, karena keinginan tidak terpenuhi. Pelbagai keinginan muncul karena dorongan kuat aneka nafsu yang melingkupinya. Jika keinginan tidak terpenuhi, timbul rasa gelisah alias tidak tenteram.
Ketenangan adalah kebutuhan hidup manusiawi yang didambakan semua insan. Ketenangan hakiki akan diperoleh seseorang jika ia mampu menaklukkan hawa nafsu dalam dirinya.

A. Naluri dan Hawa Nafsu
Naluri dan hawa nafsu merupakan fitrah yang dimiliki oleh semua makhluk hidup. Instinc untuk melindungi diri dari bahaya, memuaskan rasa lapar dan haus serta memenuhi libido merupakan hal yang dilakukan manusia karena terdorong oleh naluri dan nafsunya. Naluri dan hawa nafsu berjalan seiring sejalan dengan Sistem Alami Makhluk. Selama sistem alami makhluk bekerja dengan baik, rasa lapar timbul, kemudian terpenuhi dengan makan, rasa haus timbul dan terpenuhi dengan minum dan seterusnya.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara sistem alami makhluk pada manusia dengan yang terdapat pada hewan; meski pada prinsipnya sama. Sistem alami hewan; terutama hewan yang hidup di alam bebas, sangat terikat dengan alam sekitarnya sehingga terbatasi oleh keseimbangan alam yang dikenal dengan ekosistem. Seekor singa tidak akan membuat zebra menjadi punah karena begitu banyaknya singa itu makan. Begitu pula rumput tidak akan punah karena begitu banyaknya zebra makan rumput. Hewan hanya makan untuk mempertahankan eksistensi hidupnya di bumi. Sekedar memenuhi nalurinya untuk bertahan hidup. Begitu pula dengan masalah sex. Hewan melakukan hubungan sex hanya pada musim kawin saja. Musim kawin itu hanya satu atau dua bulan dalam satu tahun. Hewan melakukan hubungan sex juga hanya untuk satu fungsi yaitu reproduksi dan mempertahankan populasinya di bumi ini.
Berbeda dengan manusia. Manusia adalah penyebab utama kepunahan hewan dan kehancuran ekosistem di bumi ini. Manusia bisa makan bukan untuk bertahan hidup tetapi untuk memenuhi selera atau nafsu makannya. Begitu pula dalam masalah seks. Manusia melakukan hubungan seks tidak mengenal musim. Musim hujan, musim kemarau, musim durian, musim rambutan, musim layangan, musim pancaroba, manusia tetap dapat melakukan hubungan seks asalkan sistem alami dalam dirinya bekerja dengan baik. Manusia melakukan hubungan seks dan makan karena memenuhi dua fungsi yaitu reproduksi dan rekreasi.

B. Iman dan Akal Budi
Pada dasarnya setiap manusia diberi fitrah akal budi. Dalam ilmu jiwa, akal budi ini merupakan unsur dari “Fungsi Luhur” yang diatur dalam satu bagian dalam otak manusia. Fungsi luhur inilah yang dalam ilmu jiwa membedakan manusia dengan hewan. Dalam akal budi ini dasar pondasi bangunan suara hati atau nurani terbentuk. Hati nurani itu berkembang seiring dengan perkembangan diri dan pendidikan serta pengalaman hidup seseorang.
Namun akal budi ini tidak cukup kuat untuk mengendalikan dorongan dari id atau hawa nafsu dalam sistem alami manusia. Hati nurani nurani saja tidak akan mampu menangkal kombinasi antara nafsu dan godaan dari luar. Akal yang dimiliki manusia justru malah dapat membuat manusia merajalela karena akal tersebut digunakan untuk memuaskan dan mengembangluaskan hawa nafsunya belaka. Banyak contoh alat atau sarana dan prasarana pemuas nafsu yang diciptakan oleh manusia secara kreatif.
Akal budi baru akan dapat mengendalikan atau menyaring hawa nafsu apabila diiringi dengan iman. Hanya makhluk berakal budi yang dapat beriman. Namun tidak semua yang berakal budi itu pasti beriman. Iman kepada Pencipta-nya. Orang bisa beriman karena tuntutan bawah sadarnya. Dorongan dari dalam kalbu dan hatinya. Jika dia hanya di alam pikiran saja berimannya, maka digolongkan sebagai kaum munafik. Namun saya pribadi percaya bahwa iman adalah petunjuk. Hanya orang yang diberi petunjuk yang dapat beriman.
Iman tidak bisa berdiri sendirian. Iman bersanding dengan ilmu dan ilmu bersanding dengan amal. Beriman tanpa pengetahuan agama, beribadah tanpa tuntunan, akan mengakibatkan taklid buta atau iman yang tidak abadi. Iman yang sementara. Iman harus diiringi dengan pengetahuan agama yang memadai. Selanjutnya iman dan ilmu itu harus diwujudkan dalam amal dan perbuatan. Sehingga baru lengkaplah iman itu. Iman, ilmu dan amal yang terwjud menjadi suatu pola hidup, gaya hidup merupakan sistem tersendiri yang memberi pengaruh besar pada alam bawah sadar dalam diri manusia. Apapun agamanya, asalkan tidak sesat, dapat memberikan pengaruh atau bahkan perubahan besar pada diri manusia. Namun syaratnya harus masuk dalam hati sanubari dan selaras antara iman, ilmu dan perbuatan.
Orang beragama sejak kecil umumnya diindoktrinasi oleh para rohaniwan dari berbagai agama untuk selalu mengutamakan iman dibandingkan akal budi ketika mereka sedang menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan mereka, atau ketika mereka sedang mencari pengetahuan objektif yang dapat diandalkan bagi kehidupan manusia.
. Pikiran yang membuta adalah pikiran yang tidak di-manage dengan benar menuju suatu pencerahan. Dengan memandang dan memperlakukan iman sebagai pikiran, maka ketika kita menyatakan suatu ketidaksetujuan atau perlawanan kita terhadap suatu perilaku beriman seorang atau sekelompok orang beragama yang tidak betul atau yang mengancam kesehatan dan keutuhan masyarakat, kita bukan sedang berperkara dengan Allah Yang Mahakuasa yang diklaim melindungi kelompok ini, melainkan dengan pikiran-pikiran insani mereka yang keliru. Pikiran-pikiran mereka keliru karena mereka telah lama diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran yang menyesatkan dan anti-sains, dan yang karenanya membahayakan dan memecahbelah masyarakat dan mengancam peradaban manusia yang dibangun di atas rasionalitas manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar